KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat taufik
dan hidayah-Nya kita masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makala ini
yang bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Agama Islam.
Ucapan terimah kasih kami sampaikan kepada semuah pihak yang telah
memebantu pembuatan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan
penyusun makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan ............................................................................ 3
B. Anjuran Untuk Menikah ......................................................................... 4
C. Tujuan Pernikahan .................................................................................. 6
D. Proses Sebuah Pernikahan yang Berlandaskan
Al-Qur’an dan As’Sunnah Yang Shahih ................................................ 7
E. Pernikahan yang Dilarang dalam Islam ................................................ 15
F. Hikmah Pernikahan .............................................................................. 17
G. Undang-undang Pernikahan ................................................................. 18
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ........................................................................................... 24
Saran ..................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep
pernikahan pada umumnya hanya berkisar pada pernikahan Internasional dan
tradisional. Konsep nikah itu sendiri juga pastinya memilih tempat dan wedding
concept resepsi pernikahan yang tepat bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Pernikahan
menurut Islam adalah sebuah kontrak yang serius dan juga moment yang sangat membahagiakan dalam kehidupan seseorang maka
dianjurkan untuk mengadakan sebuah pesta perayaan pernikahan dan membagi
kebahagiaan itu dengan orang lain. Seperti dengan para kerabat, teman-teman
atau pun bagi mereka yang kurang mampu. Dan pesta perayaan pernikahan juga
sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah Dia berikan
kepada kita. Di samping itu pernikahan-pernikahan juga memiliki fungsi lainnya
yaitu mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri. Tidak
ada cara lain yang lebih baik untuk menghindari zina melainkan melalui pernikahan.
Rasulullah
SAW mengajarkan kita bahwa sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk
menjawab undangan pernikahan dan bahkan Rasulullah SAW menekankan untuk
menghadiri undangan walimah. Maka para ulama berpendapat bahwa seseorang boleh
untuk tidak menghadiri pernikahan hanya dengan alasan-alasan yang diperbolehkan
menurut Islam. Salah satu alasan yang diperbolehkan itu adanya musik. Adanya
musik yang tidak Islam ketika berkumpul di saat pernikahan atau seseorang masih
harus menyesuaikan pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan agama yang jauh
lebih penting.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
- Bagaimana bentuk-bentuk pernikahan
yang tidak sesuai dengan ajaran islam?
- Bagaimana konsep pernikahan yang
sesuai dengan ajaran agama islam?
C.
Tujuan
Dalam
penyusunan makalah ini penyusun memiliki beberapa tujuan, antara lain:
- Untuk
mengetahui pengertian pernikahan/nikah.
- Untuk
mengetahui kenapa Islam menganjurkan menikah.
- Untuk
mengetahui tujuan melaksanakan pernikahan.
- Untuk
mengetahui calon pasangan yang ideal menurut Islam.
- Untuk
mengetahui proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan
As-Sunnah yang shahih.
- Untuk
mengetahui pernikahan yang dilarang dalam Islam.
- Kita
dapat mengetahui tentang hikmah pernikahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang
mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan,
cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan
yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan
direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana,
terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat
ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke
langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi
kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara
dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan
Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai
pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullahi
fawqa aydihim".
Begitu
sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mitsaqon gholizho"
atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani
Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S
Al-Ahzab : 7), Allah juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia
sebagai "Mitsaqon gholizho". Karena janganlah pasangan suami istri
dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai.
Allah SWT
menegur suami-suami yang melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan merampas hak
istrinya dengan firmannya : "Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali
padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para
istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang berat "Mitsaqon
gholizho"." (Q.S An-Nisaa : 21).Aqad nikah dapat menjadi sunnah,
wajib, makruh ataupun haram, hal ini disebabkan karena :
- Sunnah,
untuk menikah bila yang bersangkutan :
a. Siap dan mampu menjalankan
keinginan biologi,
b. Siap dan mampu melaksanakan
tanggung jawab berumah tangga.
- Wajib menikah, apabila yang bersangkutan
mempunyai keinginan biologi yang kuat, untuk menghindarkan dari hal-hal
yang diharamkan untuk berbuat maksiat, juga yang bersangkutan telah mampu dan siap
menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Q.S An-Nur : 33.
- Makruh,
apabila yang bersangkutan tidak mempunyai kesanggupan menyalurkan biologi,
walo seseorang tersebut sanggup melaksanakan tanggung jawab nafkah, dll.
Atau sebaliknya dia mampu menyalurkan biologi, tetapi tidak mampu
bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban dalam berumah tangga.
- Haram
menikah, apabila dia mempunyai penyakit kelamin yang akan menular kepada
pasangannya juga keturunannya.
Sebaiknya
sebelum menikah memeriksakan kesehatan untuk memastikan dengan benar, bahwa
kita dalam keadaan benar-benar sehat. Apabila yang mengidap penyakit berbahaya
meneruskan pernikahannya, dia akan mendapat dosa karena dengan sengaja
menularkan penyakit kepada pasangannya.
Bagi mereka
yang melaksanakan pernikahan dalam keadaan wajib dan sunnah, berarti dia telah
melaksanakan perjanjian yang berat. Apabila perjanjian itu dilanggar, Allah
akan mengutuknya.
Apabila
perjanjian itu dilaksanakan dengan tulus, kita akan dimuliakan oleh Allah SWT,
dan ditempatkan dalam lingkungan kasih Allah.
B.
Anjuran Untuk Menikah
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui (QS. An Nuur : 32)
Ayat di atas menganjurkan kepada umat Islam untuk
menikah, dan Allah SWT menegaskan bahwa menikah bukanlah sebagai penyebab sebuah
kemiskinan. Menikah adalah pembuka dari pintu-pintu rizki dan membaawa berkah
dan rahmah dari Allah. Dengan
menikah, Allah akan menambah rizki dan karuniaNya terhadap hambanya yang yakin
terhadap Ayat-ayat Allah.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah
berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi
tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga
yang Islami. Penghargaan Islam terhadap
ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding
dengan separuh agama. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata : "Telah
bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya):
"Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
dalam memelihara yang separuhnya lagi". [Hadist Riwayat Thabrani dan
Hakim].
Sesungguhnya
menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan
cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai
risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan
tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim.
Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta
benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud
keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu
dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.
Menikah
hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan,
dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah,
meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah
suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya,
karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan
begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti,
sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami
yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah
Islam, sekaligus tempat bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.
C. Tujuan Pernikahan
Tentang
tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga
itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih
besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan
mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi
umat Islam.
- Membentengi Martabat Manusia dari
Perbuatan Kotor dan Keji
Sasaran
utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang
perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Wahai
para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa
(shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". [Hadits Shahih
Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan
Baihaqi].
- Rumah Tangga Yang Islami
Tujuan yang
luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Islam dalam
rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam
adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina
rumah tangga yang Islami. Rumah tangga yang islami adalah rumah tangga yang
berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam secara total (kaffah)
- Karena Menikah itu Ibadah
Sebagai
seorang manusia yang sadar betul kehambaanya, manusia harus mengabdi dan
memberikan hidupnya hanya kepada Allah dan selalu menghabiskan hari-harinya
dengan ibadah kepada Allah semata. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah
salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan
amal-amal shalih yang lain.
- Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan
perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam,
Allah berfirman : "Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu
pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu,
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?" [An-Nahl : 72].
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya
sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha
mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih
dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh
melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam",
tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum
muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah.
Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan
mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
D.
Proses
Sebuah Pernikahan yang Berlandasakan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
Shahih.
- Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi
seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang
hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya
si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini
maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya,
akhlaknya, agamanya dan informasi
lain yang memang dibutuhkan. Ini
bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si
lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si
wanita.
Yang perlu
menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah
(godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan
hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf
(kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah
resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang
pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang
telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara
lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya
telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman
sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan
lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari
keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita,
antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka,
namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka
ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada
perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ
مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
Artinya:“Maka
janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga
berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan
yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
- Nazhar (Melihat Calon Pasangan Hidup)
Seorang
wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ
لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ
النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
رًأْسَهُ
Artinya:
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian
beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini
menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan
baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena
itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ
شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
Artinya:“Lihatlah
wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau
maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Demikian
pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau
telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا،
فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Artinya:“Lihatlah
wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk
melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no.
3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam
Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat
wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si
wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila
ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak
menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar
dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa
si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya
ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si
wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat
Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita,
maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah
pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau
melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ،
فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
Artinya:“Apabila
Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita
maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan
Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si
wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً،
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ
إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
Artinya:
“Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa
baginya melihat si
wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita
tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424
dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang
shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan
melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa
seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun
Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak
menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari
sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang
sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya.
(Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih
Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
- Khithbah (peminangan)
Seorang
lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang
wanita tersebut kepada walinya.
Apabila
seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu
dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya
meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Artinya:“Tidak
boleh
seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya
itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari
no. 5144)
Dalam
riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ،
فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
Artinya:“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin
yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh
saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana
bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita
lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya,
terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang
pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk
melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh
bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah
pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan
tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena
selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim
bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
- Akad nikah
Akad nikah
adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya
nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab
Riyadhus Shalihin.”
Qabul
adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima
nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.”
Sebelum
dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang
dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ
مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
(آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
(النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا
عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
- Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar
ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena
adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin
Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah
menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya:“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan
hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no.
3475)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits
Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ
نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
Artinya:“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu
yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya
dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
- Setelah Akad
Ketika
mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk
menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara
berikut ini:
Pertama:
Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan
tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya
melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan
kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya,
sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua:
Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan
disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga:
Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman
ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan
radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk
dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah
selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat
Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada
beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah
yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum
sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan
secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf,
hal. 20)
Keempat:
Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya)
sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ
أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا
وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
Artinya:“Apabila
salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak
maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan
mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa
yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari
kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.”
(HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima:
Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya
disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari
atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku
menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk
mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku
menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku
pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku
dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat.
Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan
berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.”
(Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq.
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya
shahih sampai ke Abu Sa’id”).
E.
Pernikahan yang Dilarang dalam
Islam
Islam melarang beberapa bentuk pernikahan, Insya Allah
penulis akan menyampaikan beberapa pernikahan yang dilarang dalam ajaran agama
Islam
- Nikah
Mut’ah
Yang dimaksud dengan nikah mut’ah
adalah nikah yang diniatkan hanya untuk bersenag-bersenang dan hanya untuk
jangka waktu tertentu saja, mungkin dapat diistilahkan dengan ungkapan nikah
kontrak.
Pada awalnya nikah ini diperbolehkan
oleh Rasulullah SAW, karena pada saat itu kaum muslimin sedang mengalami
peperangan yang berkepanjangan dan jauh dari isteri mereka, pertimbangannya
agar kaum muslimin yang berada di medan peperangan terhindar dari bahaya dan
kehinaan zina.
Setelah itu Rasulullah SAW melarang
pernikahan jenis ini, karena dikhawatirkan terdapat unsure pelecehan terhadap
wanita, dan tidak sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri.
-
Nikah Muhallil
Nikah Muhallil adalah pernikahan yang
dilakukan seseorang laki-laki terhadap perempuan yang telah di talak tiga,
dengan maksud agar mantan suaminya yang mentalak isterinya tadi dapat
menikahinya lagi.
Nikah seperti ini dilarang oleh
agama, bahkan dilaknak oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda : “Dari Ibnu Mas’ud ia berkata : Rasulullah SAW mengutuk laki-laki
yang Muhallil dan Muhallal Lahu (HR.Tarmidzi dan Nasai).
- Pernikahan Silang ( Beda Agama )
Pernikahan silang adalah
pernikahan lintas agama atau pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang
berbeda keyakinan dan berbeda agama. Dan Islam melarang pernikahan
silang ini seperti yang disebutkan dalam firman Allah :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(QS.
Al Baqarah : 221)
- Pernikahan
Khadan
Khadan mempunyai arti gundik atau
piaraan, baik laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai gundiknya atau
sebaliknya. Pernikahan Khadan
merupakan tradisi jahiliyah dan di dunia modern istilah khadan berganti dengan
istilah “kumpul kebo”. Pernikahan atau cara yang seperti ini dilarang oleh
agama dan melecehkan nilai-nilai dari rumah tangga yang sacral dan suci.
F. Hikmah Pernikahan
Keluarga
dalam Islam adalah perintah agama yang berusaha untuk diwujudkan oleh setiap
manusia beriman. Ia juga kesempurnaan akhlak manusia yang dicoba-raih oleh setiap pribadi. Pernikahan
mengandung beberapa hikmah yang memesona dan sejumlah tujuan luhur.
Seorang
manusia—laki-laki maupun perempuan—pasti bisa merasakan cinta dan kasih sayang
dan ingin mengenyam ketenangan jiwa dan kestabilan emosi. Allah S.W.T.
berfirman,
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Pun
seseorang—laki-laki maupun perempuan—dalam naungan keluarga akan menikmati
perasaan memiliki kehormatan diri dan kesucian dan mengenyam keluhuran budi
pekerti. Rasulullah S.A.W. bersabda,
“Wahai
para pemuda, kalau ada di antara kalian yang sudah mampu menikah, segeralah
menikah. Sebab, pernikahan bisa menahan penglihatan dan menjaga kemaluan. Tapi,
kalau ada yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah
peredam gejolak syahwat.”
- Meninggikan Harkat dan Martabat
Manusia.
Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu
biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan
harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tidak bisa mereka jinakkan.
Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya
menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan
binatang apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.
- Memuliakan Kaum Wanita.
Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam
hanya karena diawali oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti
kehidupan mereka. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan
sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.
- Cara untuk Melanjutkan Keturunan.
Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan. Pasangan yang shaleh
diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula. Dari anak-anak yang
shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi
terbentuknya kelompok-kelompok masyarkat yang shaleh sebagai cikal bakal
kebangkitan Islam di masa mendatang.
- Wujud Kecintaan Allah SWT.
Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahkluk-Nya. Dia memberikan cara
kepada mahkluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang
mahkluk. Di dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan
kebahagiaan hidup yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan. Allah menjadikan
mahkluk-Nya berpasang-pasangan dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa
cinta dan kasih sayang.
G.
Undang-undang
Pernikahan
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan devinisi
perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan
adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai
Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “ (2002 : 38)
Apabila
devinisi diatas kita telaah, maka terdapatlah Lima unsur didalamnya:
- Ikatan lahir bathin.
- Antara seorang Pria seorang wanita.
- Sebagai suami-istri.
- Membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal,
- Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Didalam
Lima Unsur diatas ini penulis Akan mencoba memberikan penjelasan khusus yaitu unsur pertama dan yang kedua sehingga Akan jelas
pemahamannya:
- Ikatan lahir bathin.
Yang
dimaksud dengan ikatan lahir bathin adalah, bahwa ikatan itu tidak hanya cukup
dengan ikatan lahir saja atau bathin saja, Akan tetapi kedua-duanya harus
terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan
mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita
untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dengan kata lain hal itu disebut
dengan hubungan formal, hubungan formal ini nyata baik bagi prihal mengikatkan
dirinya maupun bagi pihak ketiga, sebaliknya suatu ikatan bathin merupakan
hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang
hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ikatan bathin ini merupakan
dasar ikatan lahir. Ikatan bathin ini yang dapat dijadikan dasar pundasi dalam
membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
Dalam
membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk
meletakkan perkawinan sebagai ikatan Suami- Istri atau calon Suami- Istri dalam
kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti yang disejajarkan oleh Agama
yang kita anut masing dalam Negara yang berdasarkan Pancasila. Perkawinan bukan
hanya menyangkut unsur lahir akan tetapi juga menyangkut unsur bathiniah.
- Antara seorang pria dan seorang
wanita.
Ikatan
perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita dengan
demikian, maka kesimpulan yang dapat ditarik pertama-tama bahwa hubungan
perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi misalnya
antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan wanita
ataupun antara seorang wadam dan wadam lainnya. Disamping itu kesimpulan yang
dapat ditarik ialah bahwa dalam unsur kedua ini terkandung Asas monogamy.
Dari
penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir atau jasmani, Akan tetapi juga mempunyai unsur bathin atau rohani
mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan
sejahtera.
Pasal 2:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 :
1. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberikan ijin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 :
1. Dalam hal Seorang suami, akan beristri,
lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di Daerah tempat
tinggalnya.
2. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan bertistri lebih
dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai seorang Isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 yang berbunyi :
1. Perkawinan harus didasarkan persetujuan
kedua mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 tahun harus lah mendapat ijin kedua orang tuanya.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang
tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka ijin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat antara
orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
Daerah hukumnya tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberri ijin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan
ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan
itu dari yang bersangkutan tidak menentukan yang lainya.
Pasal 7 :
1. Perkawinan hanya dijinkan jika Pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16 tahun
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1
pasal ini dapat memberikan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat Lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah
seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang
ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini
dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Oleh karena
perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang
kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak Asasi manusia, maka perkawinan
harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut,
tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut
beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling membantu,
melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
2. Bahwa suatu perkawinan adalah sah bila
mana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan
perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menganut
asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh orang yang bersangkutan karena
hukum dan agama dan yang bersangkutan yang mengijinkan seorang suami dapat
beristri lebih dari seorang meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan.
4. Bahwa calon Suami-istri harus betul-betul
siap jiwa dan raganya untuk dapat melakukan dan melangsungkan perkawinan agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara tanpa berakhir dengan
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
5. Karena tujuan perkawinan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka undang-undang ini
menganut prinsip mempersatukan terjadinya perceraian untuk dapat memungkinkan
perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan didepan Sidang
Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan rumah masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu diputuskan
bersama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan
atau perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan wanita
dalam suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama dalam usaha mencar rumah
tangga yang ideal. Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah
tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan
Rahmah (kasih sayang).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami
kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta
memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab. Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga
yang mendapat keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi
manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian
dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang
sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda "kemelut"
perselisihan dan percekcokan.
Saran
Ø Dengan adanya perkawinan di harapkan dapat
mebentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, dunia dan akhirat.
Ø Perkawinan menjadi wadah bagi pendidikan
dan pembentukan manusia baru, yang kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan
dan masadepan yang lebih baik.
Ø Dengan adanya kepala keluarga yang
memimpin bahtera keluarga, kehidupan diharapkan menjadi lebih bermakna, dan suami-suami
dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah.
Amin!
DAFTAR
PUSTAKA
Dandelion,
Momoy. 2010. Konsep Pernikahan Dalam Pandangan Islam. (Online), (http://momoydandelion.blogspot.com/,
diakses 7 Oktober 2012).
Gunawan, Gugum
Gumilar. 2012. Cara Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam.
(Online), (http://blogi-one.blogspot.com/, diakses 7
Oktober 2012).
Hadzan, Ibnul.
2007. Konsep Pernikahan dalam Islam. (Online), (http://koswara.wordpress.com/,
diakses 7 Oktober 2012).
Kumpulan
Makalah. 2009. Konsep Islam Tentang Pernikahan.
(Online), (http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/, diakses 7 Oktober
2012).
Qur'an dan
Sunnah. 2009. Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai Proses
Akad Nikah. (Online), (http://qurandansunnah.wordpress.com/,
diakses 7 Oktober 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar